SISTEM KOLOID
A.
Sistem Dispersi
o Jika kita mencampurkan suatu zat dengan zat cair,
maka akan terjadi penyebaran secara merata dari suatu zat tersebut ke dalam zat
cair. Hal inilah yang disebut sebagai sistem dispersi.
o Pada umumnya, zat terlarut yang jumlahnya lebih
sedikit disebut sebagai fase terdispersi, sedangkan zat pelarut yang
jumlahnya lebih banyak disebut sebagai medium pendispersi.
o Jadi sistem dispersi adalah pencampuran
antara fase terdispersi dengan medium pendispersi yang bercampur secara merata.
o Berdasarkan ukuran partikelnya, sistem dispersi
dibedakan menjadi 3 yaitu :
1.
Larutan sejati atau
dispersi molekuler.
Larutan
sejati adalah campuran antara zat padat / zat cair (sebagai fase terdispersi)
dengan zat cair (sebagai medium pendispersi).
Pada larutan
sejati, fase terdispersi larut sempurna dengan medium pendispersi sehingga dihasilkan
campuran yang homogen, sehingga antara fase terdispersi dengan medium
pendispersinya tidak dapat dibedakan lagi.
Molekul-molekul
fase terdispersi tersebar merata ke dalam komponen medium pendispersi, sehingga
larutan disebut juga dispersi molekuler.
2.
Koloid atau dispersi
halus.
Koloid
adalah suatu campuran antara fase terdispersi dengan medium pendispersi tetapi
fase terdispersinya bukan dalam bentuk molekuler melainkan gabungan dari
beberapa molekul.
Secara
visual, bentuk fisik koloid sama seperti bentuk larutan tetapi jika diamati
dengan mikroskop ultra, campuran ini bersifat heterogen.
3.
Suspensi atau dispersi
kasar.
Suspensi
adalah campuran heterogen antara fase terdispersi dengan medium pendispersi
dimana fase terdispersinya tidak dapat bercampur secara merata ke dalam
medium pendispersinya.
Pada
umumnya, fase terdispersinya berupa padatan sedangkan medium pendispersinya
berupa cairan.
Dalam
suspensi, antara fase terdispersi dengan medium pendispersinya dapat dibedakan
dengan jelas.
Perbandingan antara Sifat Larutan, Koloid dan
Suspensi.
No
|
Larutan
|
Koloid
|
Suspensi
|
1
|
Ukuran partikelnya < 1 nm
|
Ukuran partikelnya antara 1 – 100 nm
|
Ukuran partikelnya > 100 nm
|
2
|
Terdiri dari 1 fase
|
Terdiri dari 2 fase
|
Terdiri dari 2 fase
|
3
|
Stabil ( tidak mengendap )
|
Pada umumnya stabil
|
Tidak stabil ( mudah mengendap )
|
4
|
Tidak dapat disaring
|
Dapat disaring dengan penyaring ultra
|
Dapat disaring
|
5
|
Homogen ( tidak dapat dibedakan walaupun
menggunakan mikroskop ultra )
|
Secara makroskopis bersifat homogen tetapi jika
diamati dengan mikroskop ultra, bersifat heterogen
|
Heterogen
|
6
|
Jernih
|
Tidak jernih
|
Tidak jernih
|
7
|
Contoh : larutan gula, udara bersih, etanol 70 %
|
Contoh : air sabun, susu, mentega
|
Contoh : air kopi, air sungai yang kotor, campuran
air dan pasir.
|
B.
Sistem Koloid
Koloid
berasal dari bahasa Yunani, dari kata “ kolla “ dan “ oid “. Kolla berarti lem, sedangkan oid berarti seperti/mirip.
Istilah
koloid diperkenalkan pertama kali oleh Thomas
Graham pada tahun 1861 berdasarkan pengamatannya terhadap gelatin yang
merupakan kristal tetapi sukar mengalami difusi. Padahal umumnya kristal mudah
mengalami difusi.
Berdasarkan
fase terdispersi dan medium pendispersinya, maka sistem koloid dapat dibedakan
menjadi 8 jenis yaitu seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini.
Dalam sistem koloid, fase terdispersi dan medium
pendispersinya dapat berupa zat padat, cair atau gas.
No
|
Fase Terdispersi
|
Medium Pendispersi
|
Nama Koloid
|
Contoh
|
1
|
Padat
|
Padat
|
Sol Padat
|
Gelas
berwarna,intan hitam,mutiara,paduan logam,baja,permata,perunggu
|
2
|
Cair
|
Sol
|
Tinta,cat,sol
emas,sol belerang,lem cair,pati dalam air,protoplasma,air lumpur
|
|
3
|
Gas
|
Aerosol Padat
|
Asap,debu
di udara,buangan knalpot
|
|
4
|
Cair
|
Padat
|
Emulsi Padat ( Gel )
|
Jeli,mutiara,keju,mentega,selai,nasi,agar-agar,lateks,lem
padat,semir padat
|
5
|
Cair
|
Emulsi
|
Susu,santan,minyak
ikan,es krim,mayones
|
|
6
|
Gas
|
Aerosol Cair
|
Kabut,awan,obat
semprot,hair spray
|
|
7
|
Gas
|
Padat
|
Buih / busa Padat
|
Karet busa,batu
apung,stirofoam,lava,biskuit,kerupuk
|
8
|
Cair
|
Buih / busa
|
Busa
sabun,krim kopi,pasta,ombak,krim kocok
|
C.
Sifat-Sifat Koloid
Beberapa
sifat koloid diantaranya adalah :
1.
Efek Tyndall
Efek Tyndall
adalah efek penghamburan cahaya yang disebabkan oleh partikel-partikel koloid.
Pertama kali dikemukakan oleh John
Tyndall ( 1820-1893 ), seorang fisikawan Inggris; setelah mengamati
seberkas cahaya putih yang dilewatkan pada sistem koloid.
Apabila
seberkas cahaya misalnya dari lampu senter, dilewatkan pada 3 gelas yang
masing-masing berisi suatu dispersi, koloid dan larutan; maka jika dilihat
secara tegak lurus dari arah datangnya cahaya, akan jelas terlihat bahwa cahaya
yang melewati dispersi dan koloid mengalami peristiwa penghamburan dan
pemantulan. Sedangkan berkas cahaya yang melewati larutan tidak akan mengalami
peristiwa penghamburan dan pemantulan tersebut ( berkas cahaya diteruskan ).
Contoh
peristiwa efek Tyndall :
o Sorot lampu mobil pada malam hari yang berdebu,
berasap, atau berkabut akan tampak jelas.
o Berkas sinar matahari yang melalui celah daun pada
pagi hari yang berkabut, akan tampak jelas.
o Terjadinya warna biru di langit pada siang hari dan
warna jingga atau merah di langit pada saat matahari terbenam.
2.
Gerak Brown
Gerak Brown
adalah gerak acak atau gerak zig-zag yang dilakukan oleh partikel-partikel
koloid. Pertama kali disampaikan oleh Robert
Brown ( 1827 ), seorang ahli biologi dari Inggris. Dia mengamati pergerakan
tepung sari yang terus-menerus di dalam air melalui mikroskop ultra.
Gerakan ini dapat terjadi karena disebabkan oleh
adanya tumbukan antara partikel-partikel pendispersi terhadap partikel-partikel
zat terdispersi, sehingga partikel-partikel zat terdispersi akan terlontar.
Lontaran tersebut akan mengakibatkan partikel terdispersi menumbuk partikel
terdispersi yang lain dan akibatnya partikel yang tertumbuk akan terlontar
juga.
Peristiwa tersebut akan terus berulang dan hal itu
dapat terjadi karena ukuran partikel terdispersi yang relatif lebih besar
dibandingkan dengan ukuran partikel pendispersinya.
Gerak Brown dipengaruhi oleh ukuran partikel dan
suhu.
·
Semakin kecil ukuran partikel-partikel koloid, gerak Brown akan semakin
cepat, dan sebaliknya.
·
Semakin tinggi suhu koloid, gerak Brown akan semakin cepat; dan
sebaliknya.
Gerak Brown
merupakan salah 1 faktor yang menyebabkan koloid menjadi stabil. Oleh
karena bergerak terus-menerus, maka partikel koloid dapat mengimbangi gaya
gravitasi, sehingga tidak mengalami sedimentasi ( pengendapan ).
3.
Muatan Koloid
Partikel-partikel koloid bermuatan listrik, ada yang positif dan ada yang
negatif.
Adanya muatan listrik pada partikel-partikel koloid tersebut dapat
dijelaskan dengan beberapa peristiwa yaitu :
a. Elektroforesis.
Elektroforesis
adalah pergerakan partikel-partikel koloid karena pengaruh medan listrik.
Jika ke
dalam sistem koloid dimasukkan 2 batang elektrode kemudian dihubungkan dengan
sumber arus searah, maka partikel koloid akan bergerak ke salah 1 elektrode;
bergantung pada jenis muatannya.
Koloid
bermuatan negatif akan bergerak ke anode
( elektrode positif ) sedangkan koloid yang bermuatan positif akan bergerak ke katode ( elektrode negatif ).
Jadi,
elektroforesis dapat digunakan untuk menentukan jenis muatan koloid.
Contoh
penggunaan metode ini adalah :
v
untuk identifikasi DNA
v
penyaring debu pada cerobong asap pabrik ( = disebut pesawat Cottrel ).
b. Adsorpsi.
Adsorpsi
adalah peristiwa penyerapan spesi ( muatan listrik atau ion dan molekul netral
) oleh permukaan partikel koloid. Peristiwa ini terjadi karena adanya gaya
tarik molekul, atom atau ion pada permukaan adsorben ( koloid ). Kemampuan
menarik / menyerap ini disebabkan juga karena adanya tegangan permukaan koloid
yang cukup tinggi, sehingga jika ada partikel / spesi yang menempel akan
cenderung dipertahankan pada permukaannya.
Spesi yang
diserap disebut fase terserap, sedangkan spesi yang menyerap disebut adsorben.
Jika
partikel koloid ( awalnya netral ) mengadsorpsi ion yang bermuatan positif
( kation ), maka koloid tersebut akan menjadi bermuatan positif juga,
dan sebaliknya. Adanya peristiwa ini menyebabkan partikel koloid menjadi
bermuatan listrik.
Jika
permukaan koloid bermuatan positif, maka spesi yang diserap harus bermuatan
negatif, dan sebaliknya.
Contoh :
Sol Fe(OH)3
( netral ) dalam air akan mengadsorpsi ion positif ( kation ), sehingga menjadi
bermuatan positif.
Sol As2S3
( netral ) akan mengadsorpsi ion negatif ( anion ), sehingga menjadi bermuatan
negatif.
Muatan
koloid juga merupakan faktor yang menstabilkan koloid selain gerak Brown. Oleh
karena bermuatan sejenis, maka partikel-partikel koloid akan saling
tolak-menolak sehingga terhindar dari pengelompokan / penggumpalan antar sesama
partikel koloid tersebut ( sehingga tidak terjadi peristiwa pengendapan ).
Contoh
penggunaan sifat adsorpsi dari koloid :
a. Pemutihan gula tebu.
Gula yang
masih berwarna dilarutkan dalam air, kemudian dialirkan melalui tanah diatomae
dan arang tulang. Zat warna dalam gula akan diadsorpsi sehingga dihasilkan gula
yang lebih putih.
b. Penyembuhan sakit perut yang disebabkan oleh bakteri
patogen dengan serbuk karbon aktif atau norit.
c. Pewarnaan tekstil.
Pencelupan serat wol, kapas atau sutera ( sebelum diwarnai ) menggunakan
larutan Al2(SO4)3 atau larutan basa.
d. Penjernihan air.
Dilakukan
dengan menggunakan tawas atau Al2(SO4)3. Di
dalam air, Al2(SO4)3 akan terhidrolisis
membentuk Al(OH)3 yang berupa koloid. Koloid ini akan mengadsorpsi
zat-zat warna atau zat pencemar dalam air.
e. Adsorpsi gas oleh zat padat ( misalnya pada masker
gas yang berisi arang halus ).
c. Koagulasi.
Disebut juga
dengan istilah penggumpalan. Adalah peristiwa pengendapan
partikel-partikel koloid sehingga fase terdispersi terpisah dari medium
pendispersinya.
Koagulasi
terjadi karena hilangnya kestabilan untuk mempertahankan partikel-partikel
koloid agar tetap tersebar di dalam medium pendispersinya.
Hilangnya
kestabilan koloid ini disebabkan karena adanya penetralan muatan / pelucutan
muatan partikel koloid yang mengakibatkan terjadinya penggabungan
partikel-partikel koloid menjadi suatu kelompok / agregat yang lebih besar.
Penggabungan
ini terjadi karena adanya gaya kohesi antar partikel koloid. Jika ukuran
agregat partikel koloid sudah mencapai ukuran partikel suspensi, maka
terjadilah koagulasi.
Pelucutan
muatan koloid dapat terjadi pada sel elektroforesis atau jika elektrolit ditambahkan
ke dalam sistem koloid.
Jika arus
listrik dialirkan cukup lama ke dalam sel elektroforesis, maka partikel koloid
akan digumpalkan ketika mencapai elektrode.
Koloid yang
bermuatan negatif akan digumpalkan di anode
( elektrode positif ), sedangkan koloid yang bermuatan positif akan digumpalkan
di katode ( elektrode negatif ).
Koagulasi
koloid karena penambahan elektrolit dapat dijelaskan sebagai berikut :
v
Koloid bermuatan negatif akan menarik kation, sedangkan koloid yang
bermuatan positif akan menarik anion. Ion-ion tersebut akan membentuk selubung
lapisan ke-2. Jika selubung lapisan ke-2 tersebut terlalu dekat, maka selubung
itu akan menetralkan muatan koloid sehingga terjadi koagulasi.
v
Semakin besar muatan ion, semakin kuat gaya tarik-menariknya dengan
partikel koloid, sehingga semakin cepat terjadi koagulasi.
Pada proses koagulasi terjadi hal-hal sebagai berikut :
a. Kestabilan koloid disebabkan karena adanya muatan
listrik pada permukaan partikel koloid dan adanya fase terdispersi yang
afinitasnya lebih tinggi daripada medium pendispersi.
b. Koagulasi dapat dilakukan dengan cara mekanik dan
kimiawi.
§
Cara mekanik : pemanasan, pendinginan dan pengadukan.
§
Cara kimiawi : penetralan silang
atau menghilangkan muatan dan penambahan elektrolit.
Contoh proses-proses yang memanfaatkan sifat koagulasi dari koloid :
a. Pengolahan karet dari bahan mentahnya ( lateks )
dengan koagulan berupa asam format.
b. Proses penjernihan air dengan menambahkan tawas.
Tawas aluminium sulfat (mengandung ion Al3+) dapat digunakan
untuk menggumpalkan lumpur koloid atau sol tanah liat dalam air (yang bermuatan
negatif).
c. Proses terbentuknya delta di muara sungai.
Terjadi karena koloid tanah liat dalam air sungai mengalami koagulasi
ketika bercampur dengan elektrolit dalam air laut.
d. Asap atau debu pabrik dapat digumpalkan dengan alat
koagulasi listrik ( pesawat Cottrel
).
Metode ini dikembangkan oleh Frederick
Cottrel ( 1877 - 1948 ).
e. Proses yang dilakukan oleh ion Al3+ atau
Fe3+ pada penetralan partikel
albuminoid yang terdapat dalam darah, mengakibatkan terjadinya koagulasi
sehingga dapat menutupi luka.
d. Koloid
Pelindung.
Koloid
pelindung adalah koloid yang bersifat melindungi koloid lain agar tidak
mengalami koagulasi. Koloid pelindung akan membentuk lapisan di sekeliling
partikel koloid yang lain. Lapisan ini akan melindungi muatan koloid tersebut
sehingga partikel koloid tidak mudah mengendap atau terpisah dari medium
pendispersinya.
Contohnya :
v
Pada pembuatan es krim digunakan gelatin untuk mencegah pembentukan
kristal besar es atau gula.
v
Zat-zat pengemulsi ( sabun dan deterjen ).
v
Butiran-butiran halus air dalam margarin distabilkan dengan lesitin.
v
Partikel-partikel karbon dalam tinta dilindungi dengan larutan gom.
v
Warna-warna dalam cat distabilkan dengan oksida logam dengan menambahkan
minyak silikon.
v
Pada industri susu, kasein digunakan untuk melindungi partikel-partikel
minyak atau lemak dalam medium cair.
e. Dialisis.
Kestabilan
suatu koloid dapat dipertahankan dengan menambahkan sedikit elektrolit dengan
konsentrasi yang tepat ke dalam koloid tersebut.
Jika
konsentrasi elektrolit tidak tepat, justru akan terbentuk ion-ion yang
mengganggu kestabilan koloid. Untuk mencegah adanya ion-ion pengganggu,
dilakukan dengan cara dialisis
menggunakan alat yang disebut dialisator.
Pada proses
ini, sistem koloid dimasukkan ke dalam bejana yang terbuat dari selaput semi
permeabel ( kantong koloid ) dan dicelupkan ke dalam air yang mengalir
terus-menerus.
Selaput
semi permeabel adalah
selaput yang dapat melewatkan partikel-partikel kecil ( ion-ion atau molekul
sederhana ), tetapi mampu menahan partikel koloid. Dengan demikian, ion-ion
akan keluar dari kantong koloid dan hanyut terbawa air.
Contohnya :
o
Untuk memurnikan protein dari partikel-partikel lain yang ukurannya lebih
kecil.
o
Untuk memisahkan tepung tapioka dari ion-ion sianida.
o
Untuk proses cuci darah bagi penderita gagal ginjal ( blood dialisis ).
o
Proses pemisahan hasil metabolisme dari darah oleh ginjal manusia.
Jaringan ginjal bersifat sebagai selaput semi permeabel, yang dapat dilalui oleh air dan molekul-molekul
sederhana (seperti urea), tetapi menahan butir-butir darah yang merupakan
koloid.
4.
Koloid Liofil dan
Liofob
Koloid yang
medium pendispersinya cair, dibedakan atas koloid
liofil dan koloid liofob.
a. Koloid
liofil adalah
suatu koloid yang fase terdispersinya dapat menarik medium pendispersi yang
berupa cairan akibat adanya gaya van der Waals atau ikatan hidrogen. Liofil
berarti suka cairan.
Jika medium
pendispersinya berupa air, maka disebut koloid
hidrofil.
Koloid
hidrofil bersifat reversibel, artinya
dapat kembali ke keadaan semula. Misalnya : agar-agar. Dalam air panas,
agar-agar merupakan sol dan setelah didinginkan berubah menjadi gel. Gel ini
dapat kembali menjadi sol jika dipanaskan.
Contohnya : kanji, sabun, agar-agar, detergen, protein, gelatin.
Koloid
hidrofil mempunyai gugus ionik atau gugus polar di permukaannya, sehingga
mempunyai interaksi yang baik dengan air.
Butir-butir
koloid liofil / hidrofil dapat mengadsorpsi molekul mediumnya sehingga
membentuk suatu selubung ( = disebut solvatasi
/ hidratasi ). Akibatnya butir-butir koloid terhindar dari agregasi / pengelompokan.
Sol hidrofil
tidak menggumpal pada saat penambahan sedikit elektrolit. Zat terdispersinya
dapat dipisahkan melalui proses pengendapan atau penguapan.
b. Koloid
liofob adalah
suatu koloid yang fase terdispersinya tidak dapat mengikat atau menarik medium
pendispersinya. Liofob berarti takut cairan.
Jika medium
pendispersinya berupa air, maka disebut koloid
hidrofob.
Koloid ini
biasanya berasal dari senyawa anorganik.
Koloid
hidrofob bersifat irreversibel,
artinya tidak dapat kembali ke keadaan semula. Misalnya : sol emas. Jika medium
pendispersinya diambil, sol emas membentuk emas padat. Setelah emas padat
terbentuk, tidak dapat berubah menjadi sol emas kembali, meskipun ditambah
dengan medium pendispersinya.
Contohnya :
sol AgCl dan sol CaCO3, susu, mayonaise, sol belerang, sol sulfida,
sol logam, sol Fe(OH)3.
Koloid
hidrofob tidak akan stabil dalam medium polar ( misalnya air ) tanpa adanya zat
pengemulsi atau koloid pelindung.
Zat
pengemulsi membungkus partikel-partikel koloid hidrofob, sehingga terhindar dari
koagulasi. Susu ( emulsi lemak dalam air ) distabilkan oleh sejenis protein
susu, yaitu kasein; sedangkan mayonaise ( emulsi minyak nabati dalam air )
distabilkan oleh kuning telur.
Sol hidrofob
dapat mengalami koagulasi pada penambahan sedikit elektrolit. Jika zat
terdispersinya terpisah dari medium pendispersi, maka tidak akan membentuk sol
lagi jika dicampur kembali dengan air.
Perbedaan
sifat koloid hidrofil dan koloid hidrofob.
No
|
Koloid Hidrofil
|
Koloid Hidrofob
|
1
|
Stabil
|
Kurang stabil
|
2
|
Terdiri atas zat organik
|
Terdiri atas zat anorganik
|
3
|
Kekentalannya tinggi
|
Kekentalannya rendah
|
4
|
Sukar diendapkan dengan penambahan zat elektrolit
|
Mudah diendapkan oleh zat elektrolit
|
5
|
Kurang menunjukkan gerak Brown
|
Gerak Brown sangat jelas
|
6
|
Kurang menunjukkan efek Tyndall
|
Efek Tyndall sangat jelas
|
7
|
Dapat dibuat gel
|
Hanya beberapa yang dapat dibuat gel
|
8
|
Umumnya dibuat dengan cara dispersi
|
Hanya dapat dibuat dengan cara kondensasi
|
9
|
Partikel terdispersi mengadsorpsi molekul
|
Patikel terdispersi mengadsorpsi ion
|
10
|
Reversibel
|
Ireversibel
|
11
|
Mengadsorpsi mediumnya
|
Tidak mengadsorspi mediumnya
|
12
|
Contoh : sabun, agar-agar, kanji, detergen,
gelatin
|
Contoh : sol belerang, sol logam, sol AgCl
|
Cara Kerja Sabun dan Detergen :
Sabun dan
detergen termasuk jenis koloid Asosiasi.
Sabun dan
detergen tersusun atas bagian kepala ( polar ) yang bersifat liofil (
hidrofil ) dan bagian ekor ( nonpolar ) yang bersifat liofob ( hidrofob
).
Bagian ekor
lebih suka berikatan dengan minyak atau lemak, sedangkan bagian kepala lebih
suka berikatan dengan air.
Ketika sabun
/ detergen dilarutkan dalam air, maka molekul-molekul sabun / detergen akan
mengadakan asosiasi dan orientasi karena gugus nonpolarnya ( ekor ) saling
terdesak sehingga terbentuk partikel koloid. Bagian kepala ( hidrofil ) akan
menghadap ke air sedangkan bagian ekornya ( hidrofob ) akan berkumpul mengarah
ke dalam.
Ketika
pakaian kotor direndam dalam larutan sabun / detergen, gugus nonpolar dari
sabun / detergen akan menarik partikel kotoran ( lemak / minyak ) dari bahan
cucian, kemudian mendispersikannya ke dalam air.
Setelah
dikucek dan dibilas, noda lemak akan diikat oleh sabun atau detergen yang
akhirnya akan larut dalam air.
Sebagai
bahan pencuci, sabun dan detergen bukan saja berfungsi sebagai pengemulsi
tetapi juga sebagai penurun tegangan permukaan air. Air yang mengandung sabun /
detergen mempunyai tegangan permukaan yang lebih rendah, sehingga lebih mudah
meresap pada bahan cucian.
D.
Pengolahan Air Bersih
Secara garis
besar, pengolahan air secara sederhana dapat dilakukan melalui 3 tahap, yaitu :
1.
Koagulasi.
Koloid yang
digunakan untuk menggumpalkan kotoran, yaitu : Al(OH)3 yang bisa
diperoleh dari tawas KAl(SO4)2, aluminium sulfat dan Poly Aluminium Chloride ( PAC = polimer
dari AlCl3-AlCl3-AlCl3-..... )
2.
Penyaringan.
Bertujuan
untuk memisahkan gumpalan kotoran yang dihasilkan dari proses koagulasi.
Bahan yang
dipakai : pasir, kerikil, ijuk.
3.
Penambahan
Desinfektan.
Bertujuan
untuk membunuh kuman-kuman yang terlarut dalam air.
Bahan yang
dipakai : kaporit [ Ca (OCl)2 ] atau klorin.
E.
Pembuatan Koloid
Dapat
dilakukan dengan 2 cara utama, yaitu :
1.
Cara Kondensasi.
Dengan cara
ini, partikel larutan sejati ( molekul atau ion ) bergabung membentuk partikel
koloid. Pembuatan koloid dengan cara ini dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
cara kimia dan fisika.
A. Cara
Kimia.
Adalah cara pembuatan partikel koloid dari partikel larutan sejati
melalui reaksi kimia; meliputi :
a. Reaksi
Hidrolisis.
Adalah reaksi yang terjadi antara garam dengan air.
Contoh : reaksi pembentukan sol Fe(OH)3
b. Reaksi
Substitusi.
o Pembuatan
sol AgCl.
o Pembuatan sol
belerang.
o Pembuatan
sol As2S3
Melalui
reaksi dekomposisi rangkap = reaksi pertukaran ion, yaitu reaksi yang digunakan
untuk membuat koloid dari zat-zat yang sukar larut .
c. Reaksi
Redoks.
Adalah reaksi yang melibatkan perubahan bilangan oksidasi.
§
Pembuatan sol
belerang.
§
Pembuatan sol emas.
B. Cara
Fisika.
Adalah cara pembuatan partikel koloid dengan cara mengkondensasikan
partikel melalui :
a. Penggantian
Pelarut.
v
Pembuatan sol
belerang.
Sol belerang
dalam air dapat dibuat dengan cara melarutkan belerang ke dalam alkohol hingga
larutan menjadi jenuh. Selanjutnya, larutan jenuh yang terbentuk diteteskan ke
dalam air sedikit demi sedikit.
v
Pembuatan gel kalsium
asetat.
Kalsium
asetat sukar larut dalam alkohol, tetapi mudah larut dalam air. Oleh karena
itu, gel kalsium asetat dibuat dengan cara melarutkan kalsium asetat dalam air
sehingga membentuk larutan jenuh. Selanjutnya, larutan jenuh tersebut
ditambahkan ke dalam alkohol hingga terbentuk gel.
v
Pembuatan sol damar.
Damar larut
dalam alkohol, tetapi sukar larut dalam air. Mula-mula damar dilarutkan dalam
alkohol hingga diperoleh larutan jenuh. Selanjutnya, larutan jenuh tersebut
ditambah air hingga diperoleh sol damar.
b. Pengembunan
Uap.
Sol raksa (
Hg ) dibuat dengan cara menguapkan raksa. Setelah itu, uap raksa dialirkan
melalui air dingin hingga akhirnya diperoleh sol raksa.
2.
Cara Dispersi.
Dengan
cara ini, partikel koloid diperoleh dengan cara memperkecil ukuran partikel
dari suspensi kasar menjadi partikel berukuran koloid.
Pembuatan
koloid dengan cara dispersi, dapat dilakukan melalui beberapa metode yaitu :
a. Cara
Mekanik.
Pembuatan
koloid secara mekanik dilakukan dengan
cara menggerus / menghaluskan partikel-partikel kasar menjadi partikel-partikel
halus. Selanjutnya, didispersikan ke dalam medium pendispersi. Pada umumnya ke
dalam sistem koloid yang terbentuk; ditambahkan zat penstabil yang berupa
koloid pelindung. Zat penstabil ini berfungsi untuk mencegah terjadinya koagulasi.
Contoh :
Sol belerang
dapat dibuat dengan cara menggerus serbuk belerang bersama-sama dengan zat inert ( misalnya gula pasir ) kemudian
mencampur serbuk halus tersebut dengan air.
b. Cara
Peptisasi.
Cara
peptisasi adalah cara pembuatan koloid dari butir-butir kasar atau dari suatu
endapan dengan bantuan suatu zat pemecah ( zat pemeptisasi ). Zat pemeptisasi
akan memecahkan butir-butir kasar menjadi butir-butir koloid.
Istilah peptisasi dihubungkan dengan istilah peptonisasi yaitu proses pemecahan
protein ( polipeptida ) dengan
menggunakan enzim pepsin sebagai katalisatornya.
Contoh :
o Agar-agar dipeptisasi oleh air
o Nitroselulosa oleh
aseton
o Karet oleh bensin
o Endapan NiS dipeptisasi oleh H2S
o Endapan Al(OH)3 dipeptisasi oleh AlCl3.
c. Cara
Busur Bredig.
Cara ini
digunakan untuk membuat sol-sol logam ( koloid logam ). Logam yang akan
dijadikan koloid digunakan sebagai elektrode yang dicelupkan ke dalam medium
pendispersi.
Kemudian
dialiri arus listrik yang cukup kuat sehingga terjadi loncatan bunga api
listrik. Suhu tinggi akibat adanya loncatan bunga api listrik mengakibatkan atom-atom
logam akan terlempar ke dalam medium
pendispersi ( air ), lalu atom-atom tersebut akan mengalami kondensasi
sehingga membentuk suatu koloid logam.
Jadi, cara
busur Bredig merupakan gabungan
antara cara dispersi dan kondensasi.
Contoh : Pembuatan
sol platina dalam sol emas.
d. Cara
Homogenisasi.
Adalah suatu
cara yang digunakan untuk membuat suatu zat menjadi homogen dan berukuran
partikel koloid.
Cara ini
banyak dipakai untuk membuat koloid jenis emulsi, misalnya susu.
Pada
pembuatan susu, ukuran partikel lemak pada susu diperkecil hingga berukuran
partikel koloid. Caranya dengan melewatkan zat tersebut melalui lubang berpori
bertekanan tinggi. Jika partikel lemak dengan ukuran partikel koloid sudah
terbentuk, zat tersebut kemudian didispersikan ke dalam medium pendispersinya.
e. Cara
Dispersi dalam Gas.
Pada
prinsipnya, cara ini dilakukan dengan
menyemprotkan cairan melalui atomizer.
Menggunakan sprayer
pada pembuatan koloid tipe aerosol,
misalnya obat asma semprot, hair spray dan
parfum.
No comments:
Post a Comment